Thursday, June 27, 2013

Ciuman Terakhir


Antara mimpi dan tidak sayup-sayup aku mendengar kegaduhan yang begitu ramai, beberapa orang berpakaian putih hilir mudik didepanku. Aku tersadar sepenuhnya setelah tubuhku diguncah keras oleh Rinjani, yang saat itu terlihat panik dan wajahnya pucat pasi.
"Mas... mbak Farida... mbak Farida mas..."

"He, Farida kenapa Rin ?" aku coba mengumpulkan kesadaranku yang masih setengah terbuai dialam mimpi, mungkin karena begitu lelah berhari-hari menunggu dirumah sakit perlahan fisikku pun ikut menurun drastis dan sebuah istirahat total sangat aku butuhkan pada saat-saat seperti ini.
"Mbak Farida gawat mas..." ujarnya seraya mulai menangis, aku coba berusaha tenang dan melihat apa yagn terjadi dibalik kaca dan menyerahkan semua pada tangan para dokter yang aku sendiri tidak pernah bisa mempercayai mereka.

Beberapa orang perawat sibut menyiapkan suntikan dan peralatan operasi, perasaanku bercampur aduk dan tidak menentu saat itu, walau coba tidak terlihat panik namun tidak dipungkiri semua persendianku lemas tidak berdaya.
"Kenapa Rin ? koq tiba-tiba gawat seperti ini ?"
"Entahlah mas, tiba-tiba saja kesadaran mbak Farida semakin menurun dan detak jantung semakin melemah"
"Ya Tuhan, skenario apa lagi yang hendak kau suguhkan padaku saat ini..." jeritku dalam hati

-o0o-

Tak ada satu orang dokter pun yang mau memberikan penjelasan, semua hanya bisa menyarankan agar aku tenang dan berdoa, sementara mereka berusaha sekuat tenaga untuk menstabilkan kondisi Farida dan Ray pada saat itu ? entahlah akupun tidak peduli pada manusia yang satu itu, dia hanya bisa mencintai tanpa melakukan apapun untuk orang yang dicintainya... huft pemikiran subjektif dari seorang Gee yang sedang panik, coba menyalahkan orang lain.

"Keluarga dari ibu Farida ?" seorang perawat keluar dari ruangan dan melihat kita berdua yang sedang menunggu kabar dari penanganan para dokter.
"Saya keluarganya sust..." ujarku.
"Bapak siapanya ya ?" haruskah dia mempertanyakan hal tersebut pada saat seperti ini ? pertanyaan bodoh macam apa itu, jelas-jelas aku dan Rin sejak dua hari belakangan ini setia menunggu Farida bergantian, tidakkah itu cukup menjelaskan bahwa aku termasuk keluarga dekatnya ? apakah aku harus berkata aku mantan suaminya ? pernyataan bodoh apa pula itu.
"Kami keluarga sust, saya adik iparnya" jelas Rin
"Maaf mbak, kalo bisa saya ingin bicara dengan suaminya ?"
"Saya suaminya sust..." ujarku
"Bapak suaminya ?" tanya perawat itu mengulang kembali, seolah tidak percaya jika aku adalah suaminya... mantan tepatnya.
"Iya, tolong jelaskan ada apa dengan istri saya ?"
"Baiklah mari bapak ikut saya kedalam, ada beberapa penjelasan dari dokter"

-o0o-

Kurang lebih sebatangan rokok lewat, aku keluar dari ruang intensif, dengan membawa beberapa berkas dan disambut oleh Rinjani yang langsung bertanya tentang kondisi Farida.
"Bagaimana mas ?"
"Farida belum sepenuhnya stabil, aku harus mencari darah ke bank darah PMI diseberang jalan... kamu tunggu saja disini ya sayang..." ujarku sambil mencium bibir Rinjani yang saat itu hanya terpana dan tidak mengerti kenapa tiba-tiba aku berkata seperti itu. Dan aku sendiri tidak pernah mengerti kenapa aku berkata seperti itu, bahkan mencium bibirnya semua terjadi dengan begitu saja...
Tanpa menunggu lebih lama, aku bergegas keluar ruang intensif dan menuju lobby untuk menyelesaikan administrasi serta mengambil darah yang sudah diminta oleh tim dokter.

Tidak seperti biasanya, suasana lobby sangat ramai dengan orang-orang yang duduk di ruang tunggu. Hal tersebut menjadi aneh karena  saat itu loket pembayaran belum dibuka, maklum saja dini hari pukul 03.00 pagi, lalu apa yang sebetulnya mereka tunggu, tapi aku tidaklah begitu terusik dengan hal tersebut aku punya urusanku sendiri yang harus diselesaikan.

Setelah melakukan pembayaran aku berjalan keluar halaman rumah sakit, saat itu cuaca begitu cerah dan terang benderang. Rembulan tampak bulat penuh menyinari redup seolah menyapaku dengan lembut. Sesekali bintang terlihat berkelip coba mengalahkan sinar rembulan, namun cahayanya selalu kalah oleh dominasi sang dewi malam.

Seorang kakek tua yang berdiri disudut koridor menatap lekat kearahku, wajahnya begitu menyeramkan walaupun coba menyapa dengan seringai yang ramah, tapi tetap saja membuat hatiku ciut dan luruh tanpa dapat membalas senyumannya.

Selepas lapangan parkir yang cukup luas, akhirnya aku dapat melihat bank darah tepat diseberang jalan. Suasana jalan saat itu lengang dan sepi tanpa fikir panjang aku melangkahkan kakiku... tiba-tiba sebuah cahaya putih menyilaukan membuat pandanganku tersamar dan aku tidak pernah tahu cahaya apa itu.

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan pendapat anda