Monday, December 31, 2012
Tiga Pertanyaan
"Sweet ride"
"Thanks..." jawabnya
"Kemarin malam..." sebelum pertanyaanku selesai dia sudah bisa membaca apa yang ada difikiranku.
"Bukan, ini mobil bokap. Semalam yang Piccanto itu mobilku..."
"Oh I see..."
"Aku gak berani pake Piccanto untuk jarak jauh, mengingat kondisinya sudah uzur lagipula masih manual."
"Are you really mean that?"
"What ?"
"take me to Kediri"
"We already on the way to it..."
Aku hanya bisa manggut-manggut tanpa mengeluarkan sepatah katapun, sementara mobil sudah mulai masuk ke pintu tol luar kota menuju arah jalur utara.
Sunday, December 30, 2012
Journey To The East
Kepalaku masih terasa berat mengingat kejadian tadi malam, disepanjang pelipisku pun masih menempel perban yang warnanya sudah tidak putih lagi cenderung kusam dan memerah. Aku coba bangkit tapi rasanya ngilu di bagian rusuk sehingga mengurungkan niatku dan kembali tergolek lemah ditempat tidur. Samar-samar kulihat seseorang sedang duduk di meja sambil asyik mengotak atik laptopku, tapi bukankah itu Rin? Jam berapa ini koq dia sudah ada dikamar hotelku lagi, bukannya semalam dia segera pulang setelah membaringkan aku di tempat tidur? Mendengar aku terbangun dia menoleh padaku, dan menghampiriku dengan tersenyum. "wah, jagoan kita sudah bangun rupanya..."
"ah becanda kamu, but anyway... Thank you for saving me last night, I really appreciate your help"
Seperti biasa Rin hanya tersenyum, lalu mengambil bangku rias dan duduk dekatku.
Rinjani
"Dicari pria untuk menemani bercinta dengan syarat :
1. sudah menikah
2. Mengirimkan foto
3. Mengirimkan nomor hp yang bisa dihubungi
Kirim ke rinjani1984@gmail.com
Untuk yang cocok akan saya hubungi, salam... Cecil"
Mulanya aku menyangka itu hanya ulah orang iseng yang ingin menguras isi dompet para pria hidung belang, tapi belakangan rasa ingin tahu itu semakin menyeruak (koreksi, bukan ingin mendaftar hahaha namun lebih pada keingintahuan tentang identitas seorang Cecil yang begitu populer di forum Jakarta Underground dimana aku adalah salah satu member pasif yang rajin memantau perkembangan dunia hitam tersebut) please give a thick red line at word pasif which is means that it just for my knowledge base but I didn't have to do everything on it. Lagipula saat itu aku tidak termasuk dalam hitungan mengingat aku sendiri sedang berjuang meraih cinta seseorang hingga menyematkan titel Penunggu Mawar Ungu bagi seorang high quality jomble like me.
Friday, December 28, 2012
Tamparan Terakhir
I think men who have a pierced ear are better prepared for marriage. They've experienced pain and bought jewelry (Rita Rudner). Me ? I act like a tough guy who can control everything, but actually I'm just a piece of shit, I even can't face my own problem I just runaway... far away.
Malam ini aku memang tidak ditampar secara fisik oleh Maya, tapi tamparan secara nurani lebih dalam menghantam ulu hatiku. Aku lebih baik baku pukul dengan sepuluh orang preman sampai babak belur daripada harus menjadi pecundang yang berjalan di tepian trotoar tanpa tahu harus pergi kemana membawa segunung rasa kecewa dalam hati.
Wednesday, December 26, 2012
Forgiven But Not Forgotten
She save my day 'till I back to Jakarta (yes, I'm talking about Rinjani), fiuh Ciwidey... What a story. Tidak hanya penyelamat bagi CDM tapi juga bagiku yang saat ini benar-benar membutuhkan teman untuk sharing dan menemaniku dari kesepian yang membunuhku secara perlahan tapi pasti.
Sekembalinya ke hotel dan membersihkan diri seperti biasa aku membuka email dan memeriksa lagi agenda yang mungkin terlewatkan.
Hari ini benar-benar melelahkan dengan segala tricky war between Rin and I which is me who always get punked (pitty me...)
Monday, December 24, 2012
Elegi Bersama Rin
Konsentrasi adalah kata yang tidak aku kenal hari ini, aku sibuk curi pandang mencoba memperhatikan setiap gerak gerik Rinjani sambil berusaha keras mengingat tentang account lamaku "Penunggu Mawar Ungu" didunia maya.
Sunday, December 23, 2012
Hujan Diatas Kertas
Namun sejenak konsentrasinya terganggu dengan suara berisik dari luar bungalow, seperti suara orang yang sedang muntah-muntah.
Dia coba mengintip dari balik tirai jendela, mencari tahu asal suara tersebut. Terlihat sesosok bayangan orang sedang tersungkur dipinggir saluran air yang melintasi resort tempat dia dan semua karyawan CDM menginap.
Ini adalah malam kedua acara family gathering yang diadakan perusahaannya, jauh di kaki gunung daerah Ciwidey, Bandung Selatan.
"Sepertinya aku kenal dengan orang itu" gumam Rin sambil coba memastikan lagi dengan seksama, lalu dia beranjak mengambil sweater nya dan pergi keluar kamar untuk mencari tahu sosok yang sedang muntah itu.
Friday, December 21, 2012
Faceless Desire
"Enggak..." untuk yang ketiga kalinya aku katakan dengan jelas pada Rudi di telpon.
"Tapi mas, kalo saya gak bisa jemput mas Gee sekarang saya bisa dipecat mas. Tolonglah sama-sama mengerti mas" Rudi begitu memelas meminta aku untuk ikut dalam outing kali ini (read : Dunia Belum Kiamat). Tapi aku sama sekali tidak tertarik untuk ikut, karena aku sangat tahu karakter pak Aceng yang begitu tricky dan licin dalam membuat sebuah rencana bulus nya walau aku sendiri belum tahu apa kira-kira kejutan yang dia buat untukku.
Monday, December 17, 2012
Dunia Belum Kiamat
Namun tidak untukku, aku tidak peduli dan lebih menyibukkan diri dengan permainan di salah satu jejaring sosial. Ya hari ini semua merayakan keberhasilan proyek perbankan yang telah mencapai tahap akhir, sebuah perjalanan yang melelahkan dari sebuah proyek jangka panjang (hampir 5 tahun berlalu dan kini akhirnya selesai juga).
Wednesday, December 12, 2012
Janji Si Pahit Lidah
Dia cukup cerdas juga, menyerap semua penjelasanku dengan cepat. Bahkan dia memberi ide-ide yang brillian untuk beberapa shortcut dalam penulisan program. Yup yang aku bicarakan ini adalah Rinjani, seorang programmer penggantiku agar perusahaan ini tetap berjalan tanpa tergantung dengan aku. Ya secara halus bisa dikatakan seperti itu tapi dengan kata lain, mereka berencana menendangku selamanya dan tidak ketergantungan pada satu orang. Sah-sah saja sih, karena memang waktu akan terus bergulir dan aku lambat laun pasti akan tergantikan juga.
Titik Balik
"Rasanya ada yang hilang..." aku coba buka laci paling bawah.
"Terkunci, kira-kira dimana ya kuncinya aku simpan?" coba berfikir keras
"Oya pasti disini..." gumamku seraya membuka laci paling atas, lalu aku meraba langit-langit laci tersebut mencari sesuatu. Terasa sebuah benda menempel rapi dengan posisi dilakban agar tidak jatuh, aku ambil benda itu dan benar saja kunci laci paling bawah tempat semua kenangan buruk dikubur.
Aku sempat ragu apakah aku harus membukanya lagi atau tidak, perlahan aku masukkan anak kunci dan memutarnya. Terbukalah laci bawah itu dan aku mencari sesuatu yang seharusnya terpajang disamping layar monitorku.
Ospek
Kembali ke meja kerjaku, semua terlihat tertata rapi. Hanya saja barang-barang pribadiku sudah tidak ada, tampaknya walaupun aku sudah resign Jono (OB kesayangan) masih tetap setia membersihkan mejaku setiap pagi.
My Curse
Untuk mengerjakan tambahan proyek saja, aku kini dijamin segala akomodasinya. Mulai dari hotel, transportasi hingga makan, belum lagi insentif harian yang nilainya sejajar dengan para manager... Padahal apalah artinya aku yang hanya menjabat sebagai buruh coding hehehe.
Now here I am, laying down in my hotel room (Suite one, with full compliment... fiuh what a journey), apapun yang aku mau tinggal pesan dan tanda tangan.
Malam sudah semakin larut bahkan jarum jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, aku masih belum bisa tidur... Fikiranku melayang-layang jauh ke memori masa lalu.
Monday, December 10, 2012
Aku dan Maya
Dengan langkah masih terhuyung, dia keluar kamar mencari sumber masalah bagi perutnya itu. Dia mendapati aku sedang mengolah sesuatu didapur, karena memang aktifitasku perlahan sudah terjadwal untuk menggantikan tugas Buyung mengurusi ternak ayam dan kambing peninggalan nenek.
Maya
Menunggu
Kucoba mengatur pernafasan agar sedikit banyak bisa mengontrol degup jantung mendekati normal. Tak pernah bisa aku bayangkan harus kembali ke kota itu, setelah mulai terbiasa menikmati suasana penuh kedamaian disini.
"Tuhan, apa lagi rencanaMu untuk hidupku? Tidak dapat kah Kau biarkan aku menikmati sisa umurku ? atau mungkin Kau ingin aku menyelesaikan semua hal yang masih tertinggal disana?" Kusapu wajahku untuk menghilangkan suntuk yang mendera. Waktu terasa lebih lama, dan aku tidak bersemangat untuk beraktifitas hari ini. Hanya duduk diam menanti sang penjemput tiba mengantarku kembali ke kota yang sangat aku hindari.
The Calling
Sunday, December 9, 2012
Gone Fishing
Dengan umpan seadanya, dan kail yang aq beli di pasar aku coba peruntunganku di bengawan ini.
3 jam sudah berlalu tapi sepertinya belum ada satupun ikan yang tertarik dengan umpanku, atau karena aku yang tidak terlalu memperdulikannya sibuk dengan buku yang sedang aku baca.
Wednesday, December 5, 2012
Kedunglaban
Kulihat mbok Suratmi sudah sibuk menyapu halaman, aku lirik jam tua di sudut dinding ruang tamu. Menunjukkan pukul 07.05 pagi.
"Mbok, bojomu dah berangkat ke ladang kah ?"
"inggih mas, sudah dari jam 6 tadi. Dia gak tega mau bangunin mas Gee, akhirnya dia jalan sendiri."
Aku tidak menimpalinya lagi, aku hanya menghempaskan pantatku di kursi teras. Akulihat si mbok sudah selesai menyapu dan bergegas masuk kedapur untuk melanjutkan kerjaannya yang lain. Sementara aku? masih berusaha menyatukan sisa-sisa nyawa yang masih belum terkumpul sempurna.
"Ini sudah pertengahan bulan kedua semenjak aku disini, tapi sepertinya tidak tampak perubahan dalam hidupku. Masih kusam, kusut dan tidak terurus, masih dihantui dan terus dihantui, hmm welcome to the fallen Gee..." lirihku pada diri sendiri.
Tidak lama kemudian, secangkir kopi panas dan sepiring gorengan pisang dibawa oleh Suratmi ke meja di teras tempat aku duduk.
"Ngopi dulu mas, nanti baru menyusul Mase ke Kedunglaban."
"looh, bukannya ladang yang di sisi bengawan toh?"
"enggak mas, hari ini Mase mau panen kelapa sama pisang yang di kedunglaban. Ini beberapa tandan udah dibawa si Parmin, langsung saya goreng buat mas Gee"
Lima Pertanyaan
Kejadian tadi sore sudah tidak aku fikirkan, hanya persimpangan jalan hidup dengan seorang Alice. Sebetulnya menyenangkan juga bisa kembali berkomunikasi dengan bahasa yang biasa dahulu aku pakai untuk meeting dan presentasi buat para holder besar di kota metropolitan.
Aku coba keluar kamar dan menyalakan lampu minyak di tengah rumah. Dalam keremangan aku dapat melihat bagian halaman rumah yang cukup terang karena cahaya rembulan sedang purnama. Buyung... mana mau dia menemaniku tinggal dirumah ini, dia lebih memilih rumahnya sendiri yang kecil hanya terpisahkan oleh sepetak kebun. Terlelap bersama sang istri tercinta, baru pagi hari dia kembali untuk membereskan rumah.
Istri... kata yang tabu bagiku untuk mengatakannya, at least terhitung semenjak kepindahanku kesini. Persetan dengan semua kehidupan sosial, sebelum 5 pertanyaanku terjawab aku tidak akan pernah kembali pada kehidupan sosial seperti kebanyakan orang. Lima pertanyaan besar dalam hidupku, yang kini hilang ditelan kekecewaan yang membunuh ruh dan semangat hidupku.
Tuesday, December 4, 2012
Obrolan Dapur
"Mas Gee pinter ya bahasa inggrisnya. Di kota makannya sama apa sih mas?" seloroh si Buyung tanpa berhenti meniup tungku dengan sebatang bambu.
"what did he say?" tanya alice padaku.
"He said, you are stranger. And very quite, he wanna know you much more. Maybe he want to know where are you from and why you here" tapi dia tidak begitu saja percaya omonganku, matanya menyipit seakan menyelidik kebenaran kata-kataku.
"Mr. Buyoung, can't you speak english ?" seakan dia mau menunjukkan bahwa dia gak percaya padaku dia langsung bertanya sama Buyung.
"Mas, maksudnya opo toh ?"
"Artinya : Elo jangan banyak omong Yung, tiup aja tuh tungku sampe kembung hehehe" Alice kembali melotot, seakan coba menyelidik bahwa dia sedang tidak dipermainkan. Sementara aku coba bersikap sesantai mungkin walau sebetulnya gak tahan juga mengontrol mataku yang tak henti-hentinya melirik belahan dada Alice yang hanya memakai tanktop. (*read : Perjumpaan)
"Anjroot, sialan nih cewek dateng dari planet mana sih bikin sesek celana guwe aja" gumamku dalam hati.
"Thank you, for let me stay in your house for a while... if you don't mind I want to know your name Mr..."
"Gee, just call me Gee..."
"Gee... that's your nickname ?"
"Actually my real name is Biji puas loh..." ujarku, buyung tertawa terbahak-bahak mendengarku berkata seperti itu. Dan itu bikin alice makin BT karena merasa dipermainkan.
"Are you always unfriendly like this ?"
"look miss, first I don't even know who you are or what are you doing in my village. Second, you suddenly appear in my house and I don't invite you. Buyung the one who bring you here isn't it ? third indeed, I am always unfriendly, and didn't expect anybody. I went to this village because I wanna be alone... I'm not expect any visitor"
"Don't worry, I will leave as soon as possible after they fix my bike" ujarnya dengan nada kesal.
lalu kami kembali terdiam, hanya kepulan asap rokok yang saling bersahutan dari mulut kami dan buyung memanfaatkan kesempatan itu untuk ikut nebeng rokokku... gak sopan tuh anak.
Tamu Tak Diundang
"Mbok mie, bojomu nang ndi toh? dicariin dari tadi ra ketok wonge"
"Tadi udah pulang mas, cuma balik lagi kesana. Katanya mo jemput mas Gee yang masih tidur"
"Owalah, kampret satu itu malah balik lagi..." gumamku sambil menepok jidat.
"Ya wis lah, mbok mie lagi ngapain neeh ?"
"Iki mas, keliatannya mau hujan. Jadi saya beresin kayu-kayunya"
"Oh ya udah, saya mau mandi dulu deh"
Lalu aku pun bergegas mengambil handuk dan membersihkan diri karena memang waktu sudah menjelang maghrib.
Perjumpaan
Sumpah serapahku berhenti ketika sampai di jalan aspal dan melihat seorang turis asing sedang kesulitan menghidupkan motornya yang mogok.
"bule katrok, jauh-jauh dateng ke Indonesia cuma nyusahin aja." gerutuku berganti topik membahas turis asing tersebut, wanita bule dengan tanktop dan hotpants sehingga terkesan macho dan cantik.
"aneh bule dipake in apa aja pantes, kalo orang pribumi cakep kagak mirip ongol2 iya hahaha" tak terasa aku tertawa sendiri, sambil mendekat kearahnya *secara arah pulangku memang tepat di persimpangan jalan.
"excuse me,can you help me please" sapanya sopan.
"duh, kalo dia tahu aku bisa ngerti bahasa doi, guwe bakal dikerjain sama bule..." gumamku... Tak terasa algoritma subjektifitasku yang sudah lama berkarat otomatis bekerja saat itu juga.
"maaf saya tidak mengerti..." jawabku seraya coba pergi. Tapi dia menarik tangganku, coba mengarahkanku pada motornya yang terparkir tidak jauh dari situ.
"please, you must help me. It's getting dark, I must go to batukaras hotel not far from here"
"ah rese lo ya, guwe ga ngerti bahasa lo neng..."
"my name is Alice, and I need your help... Please"
"helep... Helep... Lo mau bayar guwe berapa. Elo sendiri kere begitu, baju aja kurang bahan ampun dah"
"I have problem with my bike, please check it up for me..."
"no... No ya, ga mau" untuk menguatkan aku menggelengkan kepalaku, bersikeras agar aku bisa pulang dan segera meraup muka si Buyung *dendam kesumat hahaha...
Aku gak ambil pusing dengan masalah orang lain, justru aku kemari untuk membuang masalah yang menumpuk tak terselesaikan. Lalu akupun meninggalkan bule malang itu sendirian, iba namun hatiku sudah terlanjur beku oleh kebencian dan kekecewaan.
Wednesday, November 28, 2012
Soewito dan Ratnaningsih
Sebuah buku yang lusuh, yang telah aku baca lebih dari sepuluh kalinya dalam rentang waktu satu bulan terakhir. Bahkan aku sampai hafal tanpa harus membaca setiap bait katanya, yang aku lakukan hanya membuka setiap lembarannya dan coba menjadi sosok "Beno" yang begitu sempurna dan dicintai.
Namun imajinasi itu perlahan pudar seiring beratnya mataku menanggung lelah setelah seharian beraktifitas di sawah bersama si Buyung. Pengabdi setia nenekku tercinta, walau dia tidak pernah diberi gaji yang rutin setiap bulan namun dia telah menganggap nenek sebagai orangtuanya sendiri. Sehingga aku diperlakukan begitu istimewa, yang terkadang membuat diriku sendiri merasa risih dan tidak pantas mendapatkan semua itu.
Aku coba merebahkan diri, coba merasakan aura cinta yang masih tersisa diruangan ini. Cinta seorang Soewito pada seorang Ratnaningsih. Yang rela menemani kekasih tercinta hingga akhir hayatnya, tanpa keluh dan sesal dimatanya.
-o0o-
Malam itu, 15 tahun yang lalu ditempat ini... hujan tak hentinya turun seolah hendak mengatakan turut berduka akan kondisi Ratnaningsih yang sudah sangat lemah. Hanya dapat terbaring dan sesekali melafadzkan Laa Ilaha Illallah dibimbing oleh suami tercinta Soewito yang tidak bergeming menemaninya, sambil menggenggam erat tangan renta yang mulai terkulai lemas.
Lalu Tuhan pun memberikan putusanNya, ya... Ratnaningsih dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Hembusan nafas terakhirnya mengiringi lelehan air mata dari pipi kekasih tercinta yang telah ikhlas melepasnya pergi. Dia pun perlahan mencium lembut kening kekasih tercinta untuk terakhir kalinya tanpa melepaskan genggaman tangannya hingga benar-benar dirasa sudah saatnya memberi khabar pada keluarga anak dan cucu.
Mereka telah melewati pernikahan lebih dari 50 tahun lamanya, berbagai dilema dan masalah dilewati bersama dengan ketujuh orang anak yang harus mereka besarkan dan bimbing hingga melahirkan cucu-cucu yang salah satunya aku. Dan mereka berhasil melewatinya hingga detik terakhir perpisahan tanpa ada orang lain. Ya hanya berdua di ruangan ini... dalam remangnya lampu tempel, tugas mereka selesai dalam membangun dasar sebuah keluarga hingga anak-anaknya menjadi besar dan sukses dalam bidangnya masing-masing.
-o0o-
Aku menghela nafas panjang, sebatangan rokok kembali aku hisap seraya berbisik lirih "Maafkan aku nek, aku telah gagal... aku menyerah..."
Gelapnya suasana saaat itu tidak mampu mengalahkan suramnya kabut dalam hatiku. Hati seorang pecundang yang menyerah pada kehidupan. Namun ini sebuah pilihan yang harus dijalani suka atau tidak suka.
Jamuan Makan Siang
Sayup-sayup buyung memanggil dari gubuk ditepi bengawan, setengah berlari kecil dia mendatangiku untuk mengajak beristirahat sejenak sambil menyantap makan siang yang sudah dibuatkan oleh istrinya tercinta.
"Mas Gee, ayo kita makan dulu... istirahat, sholat, baru kita lanjut lagi" ujarnya setengah membungkuk dengan sopan. Sebuah ciri khas karakter orang jawa yang penuh dengan keramahan.
"Oh, udah tengah hari toh... yo wis. Kamu bawa cangkul sama barang yang diujung sana ya Yung" ujarku sambil menyeka keringat...
"Inggieh mas..."
Lalu aku pun mencuci tangan dan kaki di pancuran yang sengaja dibendung membentuk kolam kecil. Dengan butiran air yang jernih, seolah membilas tidak hanya kotor dan lumpur di tangan dan kakiku namun juga menyapu segala kelelahanku yang sudah sejak dari pagi menandur satu petak sawah peninggalan nenek.
-o0o-
Kuhempaskan pantatku pada alas bambu, dan lagi-lagi terenyuh melihat hidangan siang ini. Padahal sudah satu bulan berlalu sejak pertama kali aku tinggal disini, namun tetap saja ketika melihat hidangan makan siang nasi putih, ikan peda bakar, dan satu tandan petai cina... oh iya tidak lupa sambal gerusan cabai rawit dan garam mindset ku masih belum dapat menerima apakah makanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan giziku atau tidak.
"Maaf mas Gee, kalo makanannya seperti ini... ala kadarnya" ujar Suratmi istri Buyung , seolah dapat membaca dari perubahan raut wajahku tatkala melihat menu makan siang.
"Iya, gapapa. Lain kali gantian aku yang akan bikin kalian terbelalak ya. Biar aku ajak makan steak di salah satu mall di Jakarta hahaha..." aku coba berkelakar menyembunyikan jati diriku sebenarnya.
Buyung menyusul kami setelah rapi membereskan semua peralatan, dan tanpa dikomando dengan lahapnya dia menyantap makanan yang disajikan sang istri tanpa mengeluh sedikitpun.
"Inget kalo makan nafas Yung, tar gak lucu kan kalo aku harus gotong kamu ke ambulance gara-gara kamu makan sampe lupa nafas"
"hahaha, iya mas sangking lapernya... eh koq mas lauknya sedikit sih? cuma nasi doang. Ayo mas coba petai cina nya enak loh"
"Hmm..." hanya itu jawabanku
Lama kupandangi petai cina yang masih terbungkus rapi dalam setiap bungkusnya. Sesekali kulihat mereka berdua asyik mempreteli petai cina dicampur dalam satu comotan nasi hangat lalu dibilas ke cobek yang berisi sambal cabai rawit.
Tak terasa aku menelan ludah sendiri, perutku berteriak-teriak tak peduli apapun makanannya yang penting bagi sang perut ada kerjaan yang bisa dilakukan hehehe.
"Damn... what the hell anyway, sometimes we must try a new experience. Maybe this is not as delicious as hainan rice or bebek selamet but what can I say" lalu perlahan aku mulai mencoba, sesuap... dua suap... tiga suap...
"Kurang ajar, mereka berdua cengar-cengir merasa menang kali ya liat guwe makan lahap banget" ujarku dalam hati. Oke lah, hari ini mereka berdua menang bisa ngerjain aku sampe mau makan sesuatu yang sangat asing di lidahku. entah karena lapar atau memang rasanya nikmat aku sampai menambah nasi dua kali dan menghabiskan setengah tandan petai cina sendirian (just don't get near me or you'll feel my breath so stinky hahaha)
Tuesday, November 27, 2012
Rumah Peninggalan
Kususuri jalan setapak menuju rumah kecilku yang kiri kanannya dipagari oleh pohon melinjo, setidaknya mengurangi deraan hawa panas yang membakar kulitku.
-o0o-
Selang beberapa menit kemudian, tibalah aku didepan sebuah rumah yang hampir separuhnya terbuat dari bilik. Ya sebuah rumah peninggalan nenekku tercinta, yang hingga saat ini dipercaya oleh keluarga besarku sebagai rumah "pemulihan jiwa" karena siapapun anggota keluarga kami yang mengalami depresi atau dilema dalam hidup, perlahan akan pulih setelah tinggal di rumah ini.
Aku? Ya aku depresi setelah mengalami hempasan maha dahsyat dalam hidup, namun bukan pemulihan yang jadi tujuanku kemari. Aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku dalam kesendirian.
Monday, November 26, 2012
Titik Awal
Jalan berbatu ini cukup mengganggu perjalanan angkutan pedesaan yang kutumpangi. Jika kata nyaman yang aku cari, mungkin sangat jauh dan mustahil didapat. Tapi setidaknya, hanya ini transportasi yang mampu mengantarku kembali ke rumah kecilku di pedalaman ujung pulau Jawa (I'd prefer to call it Fallen Chamber).
Penumpang lain menatapku seolah mahluk asing dari dimensi antah berantah. Walaupun ada benarnya juga karena aku sebagai pendatang belum dapat membaur seratus persen layaknya orang pribumi.
Terkadang ketika aku balik menatap mereka, dengan wajah polos dan senyum tulus tersungging dibibir mereka menyambut ku dengan anggukan penuh persahabatan. Sehingga walau berat aku megangkat bibir ini untuk tersenyum, aku coba paksakan demi menghargai keberadaan mereka.
Tidak mudah memang untuk kembali memulai hidup, tapi karena Tuhan masih enggan memasukkanku kedalam daftar hambaNya yang akan dipanggil mau tidak mau aku harus melanjutkannya dari awal lagi.