Tuesday, February 19, 2013

A Moment

Langkah kecil itu nampak kepayahan mengimbangi cepatnya langkah kaki dewasa yang menelusuri lorong rumah sakit, menuju ruangan yang diarahkan oleh perawat di bagian resepsionis.
"Papa pelan-pelan, Ica capek..." keluh Lisa, menyadarkan aku dan Rin bahwa kita tidak berjalan sendiri, ada langkah kecil Lisa yang mengikuti dari belakang.
Aku berbalik dan tersenyum, mencubit gemas pipinya.
"Ya ampun papa sampai lupa kalo ica ada dibelakang" aku segera menggendong Lisa "nah kalo begini, kamu gak akan capek lagi..." Lisa hanya mengangguk dan tersenyum manis. Lalu aku bergegas melanjutkan pencarian ruangan tempat Farida dirawat.

"ruang apa tadi kata perawat ?" aku coba memastikan ruangannya pada Rinjani.
"kalo gak salah ICU mas" jawab Rin, seraya coba melihat penunjuk arah yang ada disekitar lorong rumah sakit.
Tak lama setelah mencapai ujung lorong rumah sakit, disisi kiri terlihat sosok yang tidak asing lagi sedang duduk cemas dengan tak henti-hentinya melirik jam tangannya.
"Ray... Apa yang terjadi" ujarku menyadarkan orang tersebut yang ternyata Raihan, suami Farida.
"mas Gee, Farida tiba-tiba saja pendarahan hebat mas..." jawabnya penuh dengan rasa cemas.
"where is she now ?" tanyaku lagi, sementara Lisa yang bertemu dengan ayah tirinya segera bermanja-manja di pangkuan Raihan.
"sedang ditangani dokter mas, diruang intensif..."
Aku coba melihat dari balik celah yang sedikit terbuka untuk sekedar melihat apa yang terjadi dibalik ruangan ICU tersebut namun sepertinya sia-sia belaka, aku hanya menemukan bagian kosong dari sudut ruangan sedangkan Farida entah berada dimana.
"bagaimana kronologisnya hingga terjadi pendarahan seperti ini ?" aku coba menanyakan kronologis terjadinya peristiwa ini.
"entahlah mas, pagi tadi tiba-tiba saja Farida mengeluh sakit di perutnya dan setelah saya lihat darah sudah dimana-mana" aku yang mendengar pemaparan Ray berusaha terlihat tegar walau nyatanya kulit tubuhku merinding menahan getir jika kubayangkan posisiku sebagai Ray.

-o0o-

Dua jam berlalu, kami berempat masih gelisah menunggu kabar dari dokter bedah yang sedang mencoba menghentikan pendarahan yang dialami Farida, sementara kerabat yang lain memilih untuk menunggu di ruangan yang tepat bersebelahan dengan ruang ICU.
"Bapak Raihan ?" seorang perawat menghampiri kami dengan membawa setumpuk berkas tangannya.
"Ya suster, saya sendiri"
"Bapak diminta kebagian keuangan dahulu untuk mengisi beberapa formulir" ujar perawat sambil menunjukkan arah menuju bagian keuangan. Raihan terlihat gelisah dan balik menatapku, sepertinya aku mengerti apa yang sedang dia fikirkan.
"Ayo bro, kita sama-sama kesana" ujarku, Raihan sepertinya tidak punya pilihan lain. Dia mengikutiku dari belakang menyusul perawat yang sudah berjalan terlebih dahulu kearah bagian keuangan.

Sekembalinya dari bagian keuangan, Rin segera menanyakan perihal apa yang dibicarakan disana.
"Gapapa koq Rin, hanya mengisi formulir untuk jaminan dan beberapa berkas yang harus diisi oleh Raihan sebagai suami dari Farida" tidak mudah bagiku mengucapkan itu, ada rasa tercekat di tenggorokan seakan apa yang menjadi milikku kini dimiliki orang yang sedang berdiri kebingungan dihadapanku.
"Siapa yang menjamin pembayaran ?" tanya Rin setengah berbisik padaku.
"Aku masih ada simpanan di rekening Mandiri, kamu tenang saja dan tolong temani Lisa jangan sampai dia ikut larut dalam kecemasan"
"Iya mas..." jawab Rin singkat.

Tak lama kemudian, pintu ruang ICU terbuka dan keluarlah dokter bedah bersama beberapa asistennya. Dia segera mencari Raihan.
"Suaminya ibu Farida ?"
"Ya saya sendiri dok... bagaimana keadaan istri saya ?" jawab Raihan seraya berdiri dari kursi tunggu.
"Ibu Farida sekarang sudah stabil, tapi bapak bisa ikut ke ruangan saya ?, ada beberapa hal yang harus saya bicarakan..."
"Maaf dok, saya minta izin untuk bisa ikut menemani" ujarku memotong pembicaraan Ray dan dokter tersebut.
"Anda kerabatnya ibu Farida ?"
"Bukan dok, saya suaminya..." sepertinya aku salah berbicara, karena raut wajah dokter berubah drastis. Berulang kali dia memandangi aku dan Ray bergantian.
"Anda jangan main-main ya, siapa suami ibu Farida yang sebenarnya ?"
"Saya dok..." ujar Ray
"Saya bekas suaminya dok..." lagi-lagi kata-kata yang menyakitkan harus keluar dari mulutku sendiri. Pengakuan yang tidak terelakkan dari seorang Gee.
"Begini mas-mas sekalian, saya tidak punya waktu dengan candaan kalian, tolong pastikan jika memang suami ibu Farida mengizinkan mas ikut menbicarakan hal ini silahkan tapi kalo tidak tolong jangan buang waktu saya" ancam dokter yang sudah mulai meninggi nada suaranya. Aku hanya bisa memandang pasrah kearah Ray, berharap dia mengizinkan aku menyimak keputusan dokter.
"Saya minta mas Gee ikut menemani saya dok, jika anda berkenan" jawab Ray, membuatku bisa bernafas lega. Sekilas aku memberi tanda pada Rinjani agar menunggu disitu bersama Lisa sementara aku dan Ray masuk keruangan dokter.

-o0o-

Seperti biasa, ruangan praktek dokter adalah ruangan yang paling aku benci. Aroma khas obat tajam menyengat hidungku, mungkin juga karena aku termasuk salah satu manusia yang jarang mengunjungi ruang praktek dokter selama hidup semua sakit yang pernah aku rasakan cukup diobati dan dirawat dirumah saja.
"Bapak-bapak sekalian, ada yang perlu kalian ketahui tentang penyakit yang diderita ibu Farida"
aku coba bersikap setenang mungkin menyimak paparan dokter yang berbicara sangat hati-hati dalam memilih kata yang ingin disampaikan, bagiku itu adalah pertanda buruk yang tidak ingin aku dengar tapi harus aku ketahui.
"Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, semua pengobatan yang kami lakukan disini hanya bersifat mencegah penyebaran sel kanker itu sendiri agar tidak meluas dengan cepat" pernyataan dokter tersebut bagai sebuah petir menyambar tepat diantara kedua mataku.
"Saya ndak mengerti dok, bukannya pengobatan setiap bulan yang rutin dikonsumsi itu untuk mengobati penyakit istri saya dok ?" ujar Ray coba memastikan arti dari kata-kata dokter yang disampaikan tadi.
"Mas Ray, rumah sakit kami mempunyai keterbatasan dari sisi peralatan. Saran saya untuk dapat dirawat lebih baik lagi maka rekomendasi rumah sakit Kanker Dharmais adalah pilihan terakhir yang harus anda ambil" dokter berharap Ray mengerti maksud yang dia sampaikan, sedangkan aku sendiri sudah sangat mahfum akan apa yang disarankan dokter. Fihak rumah sakit sudah tidak mampu untuk menangani lagi, pengobatan yang dilakukan hanya memperlambat kematian, lalu akhirnya hanya menjadi sumber pemasukan bagi rumah sakit dengan pengobatan dan perawatan yang tidak murah.

Aku dan Ray hanya saling berpandangan, sebuah momen yang jarang terjadi dibelahan dunia manapun. aku saling berpandangan dengan saingan terdekatku, mengkhawatirkan sosok yang sama-sama disayangi oleh kami berdua. Yang pasti wajahnya jauh lebih kusut dariku setidaknya itu membuatku merasa lebih baik dalam hal ini, diluar itu mungkin dia adalah terbaik atas segala-galanya untuk Farida.

*Yang pasti kami tidak saling berpegangan tangan... camkan itu

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan pendapat anda