Tuesday, February 19, 2013

Berpacu Dengan Waktu

Ada sesuatu yang tidak biasa dirumah Farida sore ini, banyak tetangga berkumpul begitu juga kerabat dekat. Mereka sibuk membereskan rumah, namun ada juga yang sedang mengepak pakaian kedalam sebuah tas besar.
Rin sempat kesulitan untuk sekedar memarkirkan mobilnya, sementara perasaanku semakin tidak menentu. Beberapa asumsi buruk terlintas dibenakku, tanpa menunggu mobil terparkir sempurna aku segera melompat dan bergegas masuk kedalam rumah. Hanya satu yang aku cari, namun sosok itu tidak aku temukan. Sementara semua mata tertegun menatapku, dengan sinis dan penuh kebencian.

"bude, apa yang terjadi, Dimana Farida ?" tanyaku pada bude Marni orang yang paling di tua kan diseluruh keluarga Farida.
"tenang dulu yo le, duduk sini..." ajak beliau dengan riak muka yang datar. Aku semakin tidak mengerti, dan ketakutan itu semakin besar. Rin yang telah selesai memarkirkan mobilnya segera masuk dan duduk disebelahku.
"Le, Farida semalam mengalami pendarahan hebat. Kini sekarang ada di rumah sakit terdekat dan sudah ditangani dengan baik oleh Ray, bude sarankan kamu tunggu aja disini. Situasi sedang tidak baik, jangan memperburuk suasana" tenang, jelas dan tegas ucapan bude Marni menyampaikan secara halus bahwa aku tidak diinginkan berada disamping Farida saat ini.
"Saya ndak mengerti bude, walau saya sudah bukan siapa-siapa lagi tapi saya masih menyayangi dia bude, saya kuatir terjadi apa-apa dengan dia"
"Gee..." Rin menunjuk kearah halaman, terlihat beberapa kerabat sedang bergegas masuk ke mobil angkutan pedesaan yang disewa borongan dengan membawa serta barang-barang keperluan Farida.
"Le... Kamu gak usah ikut, tolong tinggal aja disini" cegah bude Marni. Emosiku saat itu langsung memuncak, memenuhi seluruh pembuluh darah dikepalaku.
"Bude...!! tolong minggir, saya mau pergi kemanapun itu adalah hak saya"
"Gee, sudahlah..." Rin mencium gelagat tidak baik dari perubahan raut wajahku, seakan dia sudah faham betul kapan aku benar-benar marah.
Beberapa keluarga Farida yang laki-laki berdiri dan memandangku dengan tatapan menantang, salah satunya bahkan menghardik dengan keras dan memperlihatkan sebilah parang yang terselip dipinggangnya.
Aku tidak pernah takut untuk mati, karena aku merasa jiwaku telah lama mati jauh sebelum nyawa ini benar-benar meregang dari jasad yang tak berarti.
"Silahkan, mas Narto mau tebas saya ? Saya tidak pernah takut mati mas. Saya perlu menemani Farida saat ini terlepas apapun status saya"
"Kamu tidak pantas menemaninya... Dasar lelaki brengsek, tidak bertanggung jawab" ujarnya sambil mengacungkan parang diwajahku. Beberapa tetangga coba menenangkan dan melerai pertikaian agar tidak semakin memanas.
Bude Marni tak kuasa melihat suasana semakin kacau, dia memandangku dengan berkaca-kaca.
"Jika kamu benar-benar ingin memperbaiki kesalahanmu, silahkan pergilah dan jangan pernah kembali ke rumah ini lagi..."
Pernyataan itu sudah cukup bagiku sebagai restu mendapatkan kesempatan menemani Farida.
"Saya sungguh-sungguh le, jangan pernah menginjakkan kakimu lagi dirumah ini" bude Marni mengulang lagi perkataannya, namun aku terlanjur tidak peduli dibenakku hanya Farida, dan aku akan menemuinya itu saja.
Tidak ada kendala yang berarti dari keluarga Farida untuk memaksa aku tetap duduk menunggu disitu setelah bude Marni memberikan izin, sementara setiap detik sangat berharga bagiku untuk bertemu dengan Farida yang mungkin untuk keterakhir kalinya.

-o0o-

"Rin, I'll drive..." ujarku seraya bergegas kearah pintu mobil. Rin hanya menurut saja, tanpa banyak bicara dia memberikan kunci mobil dan duduk manis disebelahku. Sementara Lisa memang aku suruh agar tetap di jok belakang mobil hingga keadaan tenang, walau sedikit bingung dia cukup tegar mengikuti semua proses yang sempat membuat panik.
Kami mengikuti mobil rombongan keluarga Farida, seraya tak hentinya aku memohon pada Tuhan untuk memberikan aku kesempatan menyampaikan maafku dan mencium keningnya.

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan pendapat anda