Tuesday, April 30, 2013

Distraction

Aku hanya dapat memandangi wajahnya dibalik kaca tebal yang membatasi antara aku dan Farida, namun itu tidak sebanding dengan tepi batas imaginer yang kasat mata terbentang lebar antara jiwaku dan jiwanya yang tengah berjuang menjalani takdir hidup. Aku kira dengan membawanya ke Jakarta akan membawa perubahan yang lebih baik dengan kondisinya, tapi semua perhitungan dan analisa para dokter itu salah walau aku tidak dapat menyalahkan mereka juga.


Aku tak dapat lagi menyentuhnya, bahkan untuk merasakan detak jantungnya sekalipun. Dia terbaring lemah diruang intensif, sementara jarum infus saling melintang menghujam disetiap pembuluh darahnya menyayat jiwaku yang hanya dapat terpaku berdiri tanpa dapat berbuat apa-apa.

"Farida... maafkan aku" lirih kata-kata tersebut mengalir begitu saja dari bibirku. I feel some strange feelings deep down in my heart, some unforgivable regret that always stab me so many times.
Sebuah sentuhan lembut terasa hangat membelai bahuku, aku menoleh pada sosok yang saat itu tengah menatapku dengan penuh kekhawatiran. "Yang sudah berlalu biarlah berlalu mas, saat ini ada hal yang lebih penting dari meratapi dan menyesali semua yang sudah terjadi..."

-o0o-


Entahlah.....
Langit yang kupandang sama seperti dulu aku mencintamu....
Hingga tak bisa lekang sebuah cerita yang ingin aku bakar di api amarah...
Tapi langit pun melukisnya hingga tatap netra tak pernah bisa berhenti menatap sosok itu.

Aku kehilangan hati....
Aku biarkan hidup tak mempunyai hati.....
Dan cita dan cinta yang hadir, semata hanyalah semanis gula yang larut dan kembali tawar..

Tapi aku juga telah memperkokoh akan cerita itu akan kembali...
Memperkokoh kebengisan, amarah, kejahatan dan kelicikan di hatiku...
Yang akan aku persembahkan jika sosok terlukis dilangit kembali turun di hening malam dan mengajak menari di sinar rembulan....aku telah bersiap di sebuah jasad yang tanpa hati.

Gumamku dalam hati, mengutip dari sebuah syair seorang perindu dalam diamnya (Syair Merindu), tapi yang ada kini semua terasa begitu salah dan rumit. Aku ingin memeluknya, mendampinginya saat dia sudah tidak lagi menjadi milikku.

"Rin, apakah aku..."
"You asking me that question for many times honey..." potong Rin seolah dia sudah membaca isi kepalaku yang akan mempertanyakan kembali rasa bersalah yang menghinggapi jiwa dan berharap ada pembenaran yang bisa menyinari gelapnya jalanku sekarang ini.
"Oya, almost forget someone want to see you Gee..."
"He, siapa ?"
"Maya, she's waiting behind that door"
"I had enough with all this distractions Rin..."
"Sabar ya, dia datang sebagai seorang sahabat yang khawatir akan kondisimu saat ini..."
"Sahabat... hehehehehe" aku hanya tersenyum sinis tanpa melepaskan pandanganku kearah Farida yang saat ini sedang terbaring.
"Tidak semua mempunyai jalan fikiran yang sama dengan kamu Gee... bagi sebagian orang ketika sebuah hubungan telah tidak dapat dipertahankan mereka akan merasa nyaman jika menggeser hubungan tersebut menjadi sebatas sahabat"
"Sahabat ndasmu..."
"Koq jadi guwe sih..."
"Kamu berfihak pada dia, kau fikir dengan semua yang telah terjadi lalu dengan mudahnya kembali menjadi sahabat ? bull shitt !!!"
"Iya, aku mengerti tapi tidak sepenuhnya kesalahan ada pada dia Gee... kamu juga kan yang memutuskan untuk pergi dari dia"
"She dump me like a garbage you know..."
"Yes I know, and I do understand your feeling right now. But can't you forgive her ?"
"I do forgive her, but not forgotten after what she has done to me."
"Why can't you forget her ?"
"Because I loved her... was.... I have answer your question okay"
"Then show her that you are.... at least ever loved her"
"Hell no, it's too painful to me"
"Why, what happen between you and Maya ? why you can't forgive her ? why you feel like you are dumped ?"
"I fucked her okay !!! I give her all my passion, I give her all my feeling, I give her all my life, I had left Farida for her and now she's dump me... just FUCK YOU Rin..." aku mulai emosi dengan serentetan pertanyaan Rinjani yang semakin menyudutkanku. Aku menghempaskan tubuhku pada sofa diruang tunggu, tak peduli perawat memandangku dengan sorot mata tajam karena kegaduhan yang aku buat.

Rinjani mendekatiku, mendekapku dengan erat, airmatanya perlahan menetes menelusuri pipinya yang lembut. Semakin lama semakin deras, dan mulai sesekali terdengar isak tangis yang dalam seolah ingin meraih jiwaku yang saat ini sedang terkucil dalam gelapnya sudut hati yang tersesat.

"Maaf aku tidak tahu jika perasaan yang terlibat sedalam itu... maafkan aku Gee"
"Ya sudahlah, aku tidak mau melihat dia Rin, aku minta tolong agar kau sampaikan saja pada dia bahwa aku baik-baik saja dan akan lebih baik jika dia tidak pernah masuk lagi dalam hidupku"
"Iya... baik Gee, akan aku sampaikan" jawab Rin, tapi sepertinya dia tidak melepas dekapannya yang semakin erat pada tubuhku.

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan pendapat anda