Sunday, February 10, 2013

Just Take Me Away (Pledoi)

I always said, it was worthed to make my self happy with all the consequences. Again, this is my "pledoi" of my destiny whether I like it or hate it. All I knew is it still killing me slowly but sure.
Aku dan Farida sama-sama tersakiti dengan kondisi ini, tanpa menafikan kenyataan bahwa perselingkuhan itu benar-benar terjadi. Semua yang seharusnya menjadi sebuah pelarian belaka, berubah menjadi cinta yang nyata adanya dan aku terjebak didalamnya.

Kini aku menuai badai dari angin yang aku tebar, seolah semua mata menatapku tajam menghukum dengan deraan perih dihati oleh rasa bersalah. Sementara sisi relung jiwa terus memberontak, menyeruak, meminta keadilan akan timpangnya rasa yang layak aku nikmati juga sebagai seorang insan. Kebahagiaan yang tidak pernah aku dapatkan, harga diri seorang suami yang tercampakkan, ikatan kasih anak dan orang tua yang terputuskan, hilangnya masa lalu demi segenggam ego, hancurnya kerajaan dunia karena deraan prasangka, dan mendampingi seseorang dengan penuh cinta kasih sayang serta pengorbanan untuk mendapatkan anugerah pertikaian setiap pekan setiap bulan dan itu berlangsung seumur hidupmu, layakkah aku merindukan kebahagiaan diri ?

God, just take me away, far away from this pain, it should not happen if only she accept my offer for a long time ago. So we can separately with care and love between us, I don't want this happen, why she so stubborn to keep me until this feeling was totally banish from my soul.
"hidup tak pernah berfihak padaku Rin..." aku membuka pembicaraan, setelah sekian lama saling diam tanpa sepatah kata pun terucap. Rinjani hanya menoleh sekilas, lalu kembali konsentrasi pada kemudi mengarahkan mobil menuju rumah Farida.
"entahlah mas, aku tidak mengerti harus menjawab apa. Yang aku tahu dan aku fahami saat ini adalah melakukan sesuatu yang terbaik untuk seorang sahabat" ujar Rin dengan lirih. Aku hanya menghela nafas, dan memandang kosong pada jalan yang terlihat lengang.
"aku hanya tidak ingin hidup dalam sebuah mahligai rumah tangga yang dihiasi dengan pertengkaran dan syakwasangka yang menggerus hati yang perlahan membunuh jiwa salah satu diantara kami"
"ya aku tahu mas, semua mempunyai pembenaran masing-masing dan semua merasa tersakiti. Itu sebabnya aku tidak ingin berfihak pada siapapun"
"aku tidak merasakan apa-apa Rin... Aku merasa kosong, aku hanya ingin menebus semua ini... Apakah nyawaku sebanding dengan kehancuran yang sudah aku perbuat?"
"don't you ever said that in front of me mas, I don't like it okay"
"it's okay, I don't like you either... Liar" jawabku, membalas perkataan Rin yang aku rasa mulai coba mendominasiku.
"are still mad of me mas ?"
"I deal with you later okay, now I wanna finish this problem first..." jawabku, yang tidak ingin memperpanjang masalah dengan masalah lain salah satunya tentang kebohongan Rinjani.

Kami berdua kembali terdiam, membiarkan waktu berlalu mengiringi perjalanan kembali ke rumah Farida. Raut kesedihan tergurat jelas diwajah kami masing-masing membawa rasa bersalah dari apa yang kami lakukan walau kami berdua tahu tak pernah berniat untuk menyakiti siapapun.

1 comment:

Tinggalkan pendapat anda