Friday, February 22, 2013

Objectivity View


Lagi-lagi insomnia menghantuiku, tapi kini bukan bayangan Maya yang bermain dikepalaku melainkan kondisi Farida yang sedang berjuang melawan maut.
Kamar sebelah sepertinya sudah tertidur pulas, karena tidak terdengar lagi suara tertawa Lisa yang bersenda gurau dengan Rin. Aku baru saja hendak merebahkan diri di kasur tiba-tiba pintu kamar hotel diketuk.
"Mas Gee, sudah tidur kah ?" suara Rin dibalik pintu kamar membuatku kembali bingung, haruskan kubiarkan Rin masuk dan menggodaku kembali? Jika malam sebelumnya aku bisa bertahan mungkin malam ini lain cerita.

Terdengar pintu diketuk lagi untuk kedua kalinya, akhirnya aq putuskan untuk mempersilahkan Rin masuk menemaniku.
"hai, masuk Rin... Lisa ?"
"Sudah tidur mas, aku kira mas udah tidur tadi diketuk ga bukain pintu..."
"aku bingung mau bukain pintu, takut terjadi hal yang diinginkan"
"hahahaha, aku janji deh gak akan nakal..." aku menatap tajam wajah Rin, lalu ku acak-acak rambutnya. "kamu tuh, I care about you so much. Lucky you that now I'm not Gee the pervert one"
"atau jangan-jangan sudah ga mampu berdiri mas..."
"one more words came out from you to flirt me, believe me it will happen"
"iya-iya maaf, aq kemari penasaran kenapa mas begitu ketakutan gara-gara masalah tadi siang"
"masalah yang mana ?"
"halah pake pura-pura segala, lupa atau memang sengaja ga mau bahas..."
"haruskah aku bicarakan tentang aibku ?"
"harus, aq udah disini sih..."
"ya udah, duduk yang manis, dengarkan baik-baik"

-o0o-

Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 3 dini hari. Tapi Rin tidak terlihat ada tanda-tanda mengantuk, malah semakin semangat mendengarkan kisahku.
"hmm, accidentally in love... Aku jadi penasaran apa yang telah Maya perbuat hingga mengharu biru kan seorang Gee" gumam Rin sambil manggut-manggut
"I miss the moment in time with her, though I don't want to see the person even just in mind" jawabku
"tapi, mas sadar jika diteruskan pun hubungan kalian tidak akan berjalan dengan mulus ?"
"sadar, itu sebabnya aku coba untuk membencinya terhitung semenjak peristiwa diusirnya aku dari apartemen dia dan kau temukan aku di kantor polisi dengan semua mahakarya yang aku gores dipelipis dan disekujur tubuh"
"itu bukan mahakarya mas, jelas-jelas itu babak belur karena ulah mas sendiri"
"hehehe, aku merasa hidupku hancur saat itu. Disaat aku mencintai seseorang dengan sepenuh hati, tanpa melihat coreng atau aib yang tergores di hidupnya, tanpa mendengar nasihat orang-orang disekitarku yang mengingatkanku jauh-jauh hari, yang ada dalam fikiranku adalah aku ingin bahagia hidup bersama dia"
"syukurlah mas gak jadi sama dia..." ujar Rin dengan nada sedikit ketus.
"oya, memangnya kenapa ?" tanyaku
"mas Gee, dia itu cocoknya buat pacaran. Dengan gaya hidup dia seperti itu, mana pernah dia berfikir serius menjalin hubungan dengan seseorang..."
"hemm, ini bukan pertimbangan subjektif kan ?"
"no, I try to see in objectivity view"  Rin coba menyelami jiwaku dengan memandang lekat jauh kedalam mataku dan kembali berkata "mas Gee, jujur aku kuatir melihat kondisimu. Walau seribu kali kau bilang lupa, benci, gak peduli, dan apapun pembenaran dirimu menyangkal bahwa ternyata hingga detik ini kau masih berharap segaris celah untuk dapat bersama dia lagi"
Aku terdiam, kata-kata itu menyentuh jiwa yang resah kurasakan.
"benarkah ?"
"aku tidak sedang menebak mas, aku menghubungkan semua ceritamu dengan perilakumu hingga saat ini. Jujur sekali lagi aku katakan kasihan melihat kondisimu"
"so, what should I do ?"
"there's nothing you can do about it, semua sudah menjadi bagian cerita hidupmu yang tidak pernah bisa kau hilangkan. Ditambah kau kini benar-benar sendiri kehilangan segalanya"
"Rinjani... Rinjani..."
"ya, kenapa dengan aku mas ?"
"kau seolah sedang menelanjangiku dengan semua analisamu..."
"oya, berarti kata-kataku benar dong ?"
"harusnya gantian aku sekarang menelanjangimu kali ya..." ujarku dengan tatapan nakal
"ih, mas Gee nakal !!!" jawab Rin sewot, dia memukulku dengan bantal yang dia peluk sedari tadi.
"haduuh Rin, sakit tau kena pelipisku yang luka..."
"oh, maaf cini cini ta sembuhin..." ujarnya dengan manja, sambil mencium pelipisku yang terlapisi perban.
"ini juga sakit..." lanjutku sambil menunjuk pada bibirku.
"ahahaha, itu mah maunya mas kali" cibir Rin seraya pergi meninggalkan kamarku.
"heh, kamu mau kemana Rin ?"
"ngantuk ah, mau bobo dulu..."
"yaah, gila udah nanggung gini ditinggalin" gumamku dalam hati.

Malam itu pun aku terkoyak oleh sepi dan beban gejolak hasrat yang tak tersalurkan, kurang ajar emang Rinjani. Memangnya aku ikan pake dipancing tarik ulur seperti ini, huft nasib tidak berfihak padaku malam ini.

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan pendapat anda