Saturday, January 19, 2013

Keluarga Baru Farida

Farida mempersilahkan Gee dan Rin untuk duduk sekaligus memperkenalkan suaminya "oya, kenalkan pah... Bojoku" ujar Farida yang sangat bangga akan suaminya tersebut. So what? Aku tidak merasa terganggu sama sekali, jalan hidup kami sudah terpisah semenjak ikrar talak diucapkan.
"Ray... Raihan"
"Gee..."
Aku dapat merasakan pandangannya tajam penuh emosi, dan tanpa senyum sedikitpun menghiasi bibirnya. Aku hanya bisa pasrah dan menjalani ospek mental ini tanpa penyesalan sedikitpun, apapun konsekuensinya pasti akan aku terima dengan lapang dada. Kembali lagi, tujuanku hanya satu, aku ingin bertemu Lisa.
Pembicaraan ini banyak didominasi dengan aksi diam, beruntung aku mengajak Rin yang dalam posisi netral sehingga ada beberapa obrolan yang terlontar.

"Jadi mas Raihan ternyata seorang enterpreuneur juga ya..." ujar Rin
"ah, pengusaha kecil-kecilan mbak. Biar bisa meluangkan banyak waktu untuk keluarga" sindir nya, aku bisa mengasumsikan itu sebagai sindiran karena aku selama menjadi suami Farida jarang ada di rumah, bahkan sabtu minggu pun kadang aku lebih nyaman berada di ruang kerjaku yang luasnya hanya 2x4 meter. Tapi aku merasa nyaman berada disana, tak perlu timbul konflik yang berkepanjangan.
"sekecil apapun mas Ray menjadi pengusaha, mas jadi boss nya, ga ada yang bisa memerintah seenaknya hehehe" gurau Rin yang ditimpali oleh Ray dengan senyum simpul, apa semahal itukah senyuman dia... Aku akhirnya tidak tahan, perlu menanyakan ada apa dengan kondisi Farida.,. Though I was not her husband anymore.

"oya, mama baik-baik saja kah? Koq keliatannya pucat dan jalan nya tadi perlu disanggah" tanyaku. Ray yang saat itu hendak menjawab di tahan oleh Farida, cengkramannya erat meremas jemari Ray (am I jealous? No thank you, she's not mine anymore I don't care and I don't gave a damn even if they kissing each other in front of me). Lalu Farida sendiri yang menjawab dengan tersenyum.
"iya, agak flu dari kemarin, mungkin karena pergantian cuaca membuat badan tidak fit dan sedikit pusing"
"oh, iya harus jaga kondisi memang dalam cuaca seperti ini"
"papah sendiri kenapa wajahnya?" Farida balik bertanya mungkin karena melihat wajahku memar dan perban menghiasi pelipisku.
"ada kecelakaan kecil, tapi gapapa koq gara-gara tertimpa ranting pohon" jawabku agar tidak menjadi panjang urusannya.
"ya begitulah mbak, kalo programmer masuk kampung... Nyangkul aja lecet-lecet tangannya" timpal Rin coba meyakinkan alibiku.
"iya, lagipula kenapa papah memaksa resign sih..." ujar Farida
"ya gimana yah, jalannya sudah begini..." obviously not a good answer, I just wanna make her more suffer for feeling guilty. Kini giliran Rin yang memandangku dengan tatapan tidak suka, seolah dia ingin mengatakan cukup tidak usah membahas masa lalu. But, do I care? No I don't... She must know that now I am fallen and broken, but I am happy to live without her anymore.

-o0o-

Waktu pun berlalu begitu cepat, aku minta agar diberi waktu bersama Lisa sampai besok. Aku ingin mengajak dia berjalan-jalan dan menginap bersamaku malam ini. Namun sepertinya mereka begitu kuatir, setidaknya ada sesuatu yang masih mereka sembunyikan dariku. Farida meminta izin untuk masuk kedalam ruang tengah untuk berbicara serius dengan Ray. Sementara aku coba mengungkapkan rasa curigaku pada Rin.
"do you feel something wrong with this ?"
"yes, I think they hidding something from you mas..." ujar Rin, kalo begitu cocok apa yang ada dalam benakku dan dia.
"aku rasa dia berbohong tentang sakitnya...."
"iya, sama mas juga bohong..." mataku mendelik, kenapa dia berfihak pada Farida? Toh walaupun aku ceritakan hal yang sebenarnya, itu hanya akan menjatuhkan harga diriku didepan mereka.
"hihihi gak usah melotot gitu mas, tar aku jadi gemes bisa kucium lagi kamu..." Rin malah tertawa dalam kondisi seperti ini, yang ada juga kalo aku niat udah kubuat dia menggelepar dengan ciumanku.
Tidak lama kemudian mereka berdua datang dan kembali duduk didepanku, dan aku semakin merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mata Ray sembab dan merah, seperti bekas menangis (cowok menangis? Please deh...) raut wajah Farida menampakkan beban yang begitu berat yang tidak pernah aku ketahui beban apa itu.

"pah, aku ingin liburan ke puncak gunung... Kita berempat"
"he? Apa aku gak salah denger ma?" dia tersenyum dan menggeleng pelan.
"enggak, mama serius koq... Biar papa lebih mengenal Ray dan aku bisa mengenal Rinjani juga..."
"maaf ma, tapi sepertinya masalah ini semakin rumit. Jujur aku gak mengerti"
"papa mau kan..."
"kenapa ma? Masih belum cukup membuatku menderita? Ingin membanggakan suamimu didepanku?"
"mas... Jaga omonganmu ya..." bentak Ray, tapi aku tidak pernah takut. Aku sudah lepas dari Farida dan cukup selesai sampai disini. Jika Ray ikut campur juga, aku tidak pernah takut untuk berkonfrontasi fikiran maupun fisik.
"anda tidak usah ikut campur, saya juga punya hak untuk Lisa tapi jangan mentang-mentang anda dan Farida yang mengurus dia anda bisa memberikan syarat yang macam-macam"
"mas..." Rin coba menengahi suasana yang mulai memanas. Ray berdiri dan memandangku dengan tajam seolah ingin melumatkanku. Aku tidak mau kalah ikut berdiri dan bersiap dengan situasi terburuk, tidak ada yang aku pertaruhkan lagi disini, setidaknya walaupun aku harus babak belur dihajar Raihan yang berbadan besar dan tegap, minimal satu dua pukulan ku mendarat dimukanya sebagai tanda perlawanan dan menunjukkan aku tidak tunduk pada siapapun.
"AYAHHH... Sudah cukup" teriak Farida, seketika itu pula Ray mengurungkan niatnya berkonfrontasi denganku dan kembali duduk seraya memeluk Farida dan meminta maaf, air matanya menetes dari kedua matanya. "banci..." umpatku dalam hati, aku pun kembali duduk dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Rin tampak begitu tegang hingga tangannya berkeringat saat aku genggam.
"saya datang kemari dengan baik-baik, jika sekedar meluangkan waktu dengan anak saya sendiri dipersulit saya akan datang kesini lagi bersama pengacara saya" ujarku, walau aku sendiri tidak benar-benar berniat seperti itu.

Aku menarik tangan Rin untuk bergegas pulang menuju mobil yang terparkir di halaman rumah. Belum sempat aku membuka pintu mobil, Ray dengan terpogoh-pogoh berlari dan memanggil kami. Intonasi suaranya lebih bersahabat dibanding pembicaraan tadi.
"mas Gee... Tunggu sebentar, saya mohon maaf dan tidak bermaksud menyinggung mas..." ujarnya.
Aku berbalik dan memandang sinis pada Ray "Sorry Ray, guwe gak banyak waktu buat melayani basa basi kamu."
"mas Gee, dengar dulu baik-baik. Lisa sedang menyiapkan baju, dia boleh ikut lha wong bapaknya sendiri yang ngajak. Saya gak punya hak mas"
"terus maksud lo tadi apa ? Ngajak jalan berempat ke gunung, mau kasih lihat kemesraan kalian didepanku? Aku sudah lihat, sudah cukup membaca betapa kalian saling mencintai."
"bukan mas, saya mohon mas fikirkan dengan baik-baik permintaan Farida. Demi Tuhan niat kami baik mas, dan demi Tuhan saya akan mengorbankan apapun demi dia mas. Jika saya harus memohon dan bersujud dikakimu akan saya lakukan mas..." ujarnya sambil bersimpuh di tanah hendak mencium sepatuku. Aku langsung kontan menghindar dan membangunkan dia, "badannya doang rambo, hatinya rinto" gumamku...
"bangun Ray, aku tidak layak di perlakukan seperti itu. Aku gak ngerti jika kamu sebodoh itu mencintai Farida dan aku gak peduli. Begini saja, aku akan fikirkan hal itu malam ini. Besok aku kasih jawabannya."
"Saya mohon mas Gee, bukalah sedikit pintu nuranimu..."
"iya saya bilang besok mas... Lisanya mana ?" ujarku sambil mencari Lisa yang ternyata baru keluar dari pintu bersama Farida.
"Lisa jangan nakal ya, tidurnya jangan terlalu malam" ujar Farida menasihati Lisa, dia hanya mengangguk pelan dan bergegas naik kedalam mobil.
"jangan lupa ditelonin kalo mau tidur ya pah, Lisa suka masuk angin" Farida coba mengingatkanku.
"iya, tenang aja dari bayipun aku yang selalu mengurus dia ma..." jawabku ketus
"aku harap permintaan terakhirku bisa kamu penuhi pah... " ujarnya seakan dialah yang paling menderita dalam hal ini.
"iya, gimana besok aja. Aku tidak bisa janji..." jawabku masih dengan nada ketus.
Mobilpun perlahan meninggalkan rumah Farida, dan malam ini adalah malam untuk Lisa si bola-bola cokelat buah hatiku. Aku ingin meluangkan waktu hanya bersamanya, bahkan aku sampai lupa bahwa disampingku selama ini ada seseorang yang setia meluangkan waktu, tenaga dan hartanya untukku. Ya Rinjani, sosok misterius yang tidak beruntung, bertemu dengan seseorang sepertiku....

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan pendapat anda