Wednesday, January 16, 2013

Waktu Yang Merenggut Segalanya

Kediri, sebuah kota kecil ditimur pulau jawa sarat dengan budaya dan kesederhanaan hidup menyambut kedatangan Gee dengan rintik hujan seakan tahu cerita duka yang tertulis dalam jurnal hidup yang pernah dia jalani bersama Farida.
Dengan melihat sekilas pun Rin sudah sangat mengerti akan kegelisahan Gee saat itu, raut wajah yang muram dan kerutan dahi yang semakin menebal tidak dapat ditutupi bahkan oleh topeng keceriaan sekalipun.


"kalau masih ragu jangan dipaksakan mas" ujar Rin
Gee menoleh dengan tatapan kosong "terus kalo aku ragu kita balik lagi ke Jakarta ?" tanya Gee
"yaa mungkin itu jalan yang lebih baik..."
"enggak lah, kita sudah berjalan sejauh ini. Tidak mungkin kembali, lagipula aku kesini untuk Lisa bukan untuk dia"
"lalu kenapa mas begitu gelisah ?"
"aku tidak mau ketemu dia"
"bagaimana mungkin, pasti ketemu lah. Lagipula kenapa mesti terganggu kalo mas sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi?"
"entahlah, setiap ketemu bawaannya emosi, bahkan mendengar suaranyapun aku merasa tidak nyaman"
"tidak nyamannya seperti apa ?"
"should I answer your question ?"
"yes, you should..."
"I feel jealous, angry, while she pretending like there's nothing happen between us"
"kalo aku lihat sebetulnya kamu ingin membicarakan apapun itu yang mengganjal dihatimu sama dia, tapi ego kamu berkata gengsi dong..."
"tuh kan... Mulai lagi nasehatin guwe..."
"enggak mas, aku gak bermaksud begitu..."
"ya sudahlah, maaf kalo aku terlalu dalam mencampuri urusanmu. Setidaknya jika nanti ketemu minimal aku tahu duduk perkaranya seperti apa"
Aku menghentikan pembicaraan dan fokus untuk mengarahkan jalan menuju rumah keluarga Farida.

-o0o-

Pagar hijau kusam masih tetap berdiri tegak menghiasi rumah kecil sejak 8 tahun lalu. Tidak ada perubahan yang berarti hanya saja sekarang kondisinya sudah tidak terpelihara. Rumput liar tumbuh disana-sini, daun kering berserakan menambah suram suasana. Perlahan aku buka pagar dan melangkah menuju teras rumah. Suasana begitu sepi senyap, aku begitu gundah dan ragu untuk mengetuk pintu. Semua perasaan berkecamuk menggetarkan hatiku hingga akhirnya aku putuskan untuk berbalik dan kembali ke mobil.
"Papaa..." terdengar suara yang sangat aku kenal dari belakangku, sekejap wajahku sumringah dan berbalik tak sabar untuk memeluk sosok itu...
"Bola-bola cokelat... haii" tanpa tunggu lama tubuh kecil itu menghempaskan dirinya dalam pelukanku. Perasaan itu, luapan emosiku akan kerinduan yang sudah membuat gundah hari-hariku lenyap sudah.
"Papa koq lama banget sih perginya, Lisa kangenn..." ujarnya.
"Iya sayang, papa kan sekarang udah ada disini..." aku tak peduli betapa deras air mataku mengalir tanpa dapat ditahan, aku ciumi pipi Lisa dan memeluknya dengan erat.
Entah berapa lama aku peluk dan cium dia, sampai aku sadar jika aku bersama Rin. Aku berdiri dan memperkenalkan Rin yang sejak dari tadi sudah berdiri dibelakangku.
"Lisa, kenalkan ini temen papa yang sudah berbaik hati mengantarkan papa sampai sini"
"Hai cantik, namanya siapa ?" tanya Rin seraya tersenyum pada Lisa.
"Namaku Lisa tante... tante dan papa sudah menikah ya ?" tanyanya dengan polos, Rin tersenyum simpul dan berjongkok mensejajarkan diri dengan Lisa lalu berkata "Tante temennya papa, tante gak menikah sama papa sayang..." jelasnya.
"Koq mama sama om menikah, koq tante sama papa gak menikah ?" tanya nya lagi, aku segera memotong pembicaraan mereka dengan mengalihkan pada bungkusan hadiah yang sudah aku bawa dari Jakarta.
"Ngobrol terus, nanti hadiahnya papa bawa pulang lagi ke Jakarta loh..."
"Yaa jangan dong pah, itu kan hadiah ulang tahun Lisa..." wajahnya merenggut manja sambil merebut kado tersebut dari tanganku, dia memelukku erat dan mencium pipiku.

-o0o-

Aku tidak menyadari jika saat itu ternyata Farida sudah berdiri di depan pintu sambil tersenyum melihatku. Wajahnya tidak berubah, masih saja cantik seperti dulu walau kelihatan agak kurus dan pucat.
"mama... Lihat papa bawa apa, bagus deh ma...." teriak Lisa seraya berlari menyerahkan bungkusan kado pemberianku. Aku berjalan menghampiri mereka, mencoba tersenyum walau wajah ini terasa kaku bak tertutup masker bengkuang campur semen. Farida tidak menjawab hanya tersenyum dan menyuruh Lisa masuk kedalam rumah, lalu dia kembali menatapku dan tersenyum.
"Hai..." sapa Farida
"Hai..." Jawabanku singkat, karena aku tidak tahu harus berpura-pura atau berbasa-basi. Lidah ini kelu untuk berucap.
"Apa kabar pa ?" aku coba sekuat tenaga untuk menggerakkan lidahku sekedar berbasa-basi menjawab pertanyaannya agar dia senang, namun tetap saja kata-kata itu yang keluar.
"Yaa gitu deh" datar dan mengindikasikan bahwa aku tidak nyaman dengan pertemuanku ini, karena memang tujuanku hanya satu... Lisa. Lagi-lagi dia hanya tersenyum dan mempersilahkan aku masuk, dan aku benci itu. aku benci senyumnya yang bisa meluluhkan hatiku, aku benci tatapan matanya yang walau tidak seceria dulu cenderung redup tanpa aura kehidupan tapi tetap saja pandangannya tajam menyentuh hatiku hingga terasa hangat dan nyaman. Aku benci karena jika aku tenggelam dalam perasaan itu satu masa dia akan kembali menyakitiku dengan egonya. Aku selalu berusaha menghindari kontak mata dengannya, aku coba alihkan kemanapun itu selain kedua matanya yang selalu dapat meluluhkan hati.
"Itu siapa ?" tanya Farida sambil pandangannya mengarah ke arah Rinjani yang sedang berdiri dibelakangku.
"Oh, temen..."
"ayo silahkan masuk, maaf rumahnya berantakan" masih dengan intonasi datar, mungkin bagi dia aku hanya sampah yang sudah tidak bisa dia manfaatkan lagi dan dia tidak ada perasaan apapun lagi setelah mendapatkan gantinya seorang lelaki cakap, putih, tinggi besar, yang benar-benar mencintainya semenjak SMA dulu. Diruang tamu suami Farida sudah berdiri tegap menyambut istri tercinta yang nampaknya tertatih dan kesulitan untuk berjalan, lalu ia memapahnya seraya melingkarkan tangan dipinggang Farida seolah ingin mengatakan kini aku memilikinya. So what ? just go on with your life, I don't care. my problem is plenty enough waiting to be resolved. Tapi satu yang pasti sebuah pertanyaan mencuat dibenakku, ada apa dengan Farida ?

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan pendapat anda