Thursday, February 21, 2013

Careless Mind


Exhausted... Mungkin itu kata yang tepat menggambarkan kondisi tubuhku saat ini. Dengan langkah gontai aku meninggalkan ruang dokter bersama Raihan, coba menerima bahwa ini semua nyata bukan sekedar mimpi buruk walau harapan untuk terbangun itu tetap melekat dalam hati. Sayangnya aku tahu bahwa ini memang benar nyata adanya.

"Mas Gee...!" terdengar suara Rin dari arah belakang, ketika kumenoleh Rin dan Lisa sedang melambaikan tangan kearahku, aku dan Ray segera menghampirinya.
"where have you been ?"
"Farida has moved to IHC mas..." jawab Rin
"IHC ?"
"ruang intensif, masa kritisnya sudah lewat"
"thank God, where is she now ?"
"come on, follow me" ajak Rin.
"pake bahasa Indonesia bae priben je..." Ray menyeletuk, sewot juga mendengar pembicaraanku dengan Rin. Aku dan Rin hanya tertawa, bahkan Lisa ikut meledek ayah tirinya sambil tergelak.

-o0o-

Ruang intensif peraturannya lebih ketat, yang diperbolehkan masuk paling banyak hanya dua orang itu pun harus melepas alas kaki. Kasihan Lisa, karena umurnya belum cukup untuk dapat ikut menemui mamanya. Tapi dengan sedikit bujukan dan ditemani Rinjani, akhirnya dia mau menunggu sementara aku dan Ray masuk untuk melihat kondisi Farida.

Kulihat Farida tergolek lemah, belum sadarkan diri. Saluran selang infus bersilangan menancap di pembuluh nadinya, tak dapat digambarkan perasaanku saat itu, aku hanya berdiri tertegun disamping Farida coba bertahan untuk tidak jatuh terkulai lemas. Ray mengusap lembut rambutnya yang tergerai, menyapu butiran keringat yang terkumpul di keningnya. Menyaksikan pemandangan itu aku mengurungkan niatku untuk apapun yang terlintas dibenakku.

"Ray, aku menunggu diluar saja ya" bisikku pada Ray agar tidak mengganggu pasangan tersebut sekaligus pergi sejauh mungkin dari hadapan mereka.
"oh iya mas, monggo" jawab Ray, yang diiringi langkahku berlalu keluar dari ruang intensif tersebut. Setelah menutup pintu, aku tidak dapat berkata-kata hanya bersandar dan memejamkan mata sambil menahan bibir ini agar tidak bergetar hebat.

-o0o-

"mas yang sabar ya..." ternyata Rinjani melihat perubahan riak wajahku, dia menghampiri dan menggenggam erat tanganku.
Terasa hangat dan nyaman, genggaman itu sedikit menguatkan jiwa yang luruh hancur tak berkeping.
"i need a hug..." ucapku lirih, dia pun tersenyum dan memelukku dengan hangat. Sebuah pelukan yang menenangkan jiwa, mengingatkanku kembali pada perpisahan terakhir ketika aku pergi meninggalkan Maya untuk menjauh di pedalaman Parigi.

"my life was fuck up May..." seketika itu juga pelukan Rin terlepas, dia memandangku dengan tatapan kaget coba memastikan pendengarannya sekilas lalu.
"did you call me May ?"
"heh, did I ?" aku sendiri kaget dan tersadar jika tadi aku salah ucap, kesalahan yang fatal.
"yes you did... You still love her don't you mas ?"
"I... I think it's just some mistake Rin..."
Rin hanya tersenyum, lalu balik menggodaku.
"Cieee... Akui saja mas, aku gapapa koq" ujarnya sambil meninju pundakku sebagai candaan yang bagiku tidak biasa.
"maaf ya Rin..."
"gak usah minta maaf kali, wajar lah mas... Itu artinya mas memang bener-bener jatuh cinta sama dia. It's okay" jawabnya datar.

Rin menjauhiku, duduk bersama Lisa yang sedang asyik bermain games di galaxy tab nya Rin. Sedangkan aku tertunduk, diam tak bisa bicara. Aku jelas-jelas menyakitinya, bodohnya aku bisa sampai salah ucap terlebih di situasi seperti ini.
Aku benar-benar salah tingkah, takut kehilangan, malu dan rasa lainnya bercampur aduk. Kucoba dekati mereka, Rin hanya menoleh tersenyum dan kembali bermain bersama Lisa.
"mampus guwe, tiap kepikiran Maya pasti sial melulu..." gumamku dalam hati.
"Rin, I'm sorry..."
"sorry ? For what ?" riak wajah Rin begitu palsu dan penuh kepura-puraan. Aku tahu dia marah, I'm so sure about that.
"iya tadi aku salah ngomong..."
"mas Gee... It's okay, everybody make mistake. Don't be so hard to your self, aku tahu kondisimu yang begitu kalut sehingga terlontar begitu saja"
"no, it's not okay... Kamu berubah Rin, kamu berpura-pura gak apa-apa"
"mas..."
"yup..."
"it's okay... Really" tapi lagi-lagi setelah dia mengucapkan itu, wajahnya dipalingkan membelakangiku dan asyik mengajarkan Lisa bermain tab. Aku kini benar-benar pasrah, tanpa mengeluarkan sepatah katapun aku pergi berlalu mencari tempat dimana aku bisa merokok untuk menghilangkan stress yang sudah sangat memuncak.

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan pendapat anda