Friday, December 21, 2012

Faceless Desire

Faceless Desire  

"Enggak..." untuk yang ketiga kalinya aku katakan dengan jelas pada Rudi di telpon.
"Tapi mas, kalo saya gak bisa jemput mas Gee sekarang saya bisa dipecat mas. Tolonglah sama-sama mengerti mas" Rudi begitu memelas meminta aku untuk ikut dalam outing kali ini (read : Dunia Belum Kiamat). Tapi aku sama sekali tidak tertarik untuk ikut, karena aku sangat tahu karakter pak Aceng yang begitu tricky dan licin dalam membuat sebuah rencana bulus nya walau aku sendiri belum tahu apa kira-kira kejutan yang dia buat untukku.


Setengah jam kemudian pintu kamar hotelku diketuk dari luar, and that pissing me off. Rudi was stubborn driver who don't understand the word "No". Aku segera bergegas membuka pintu kamar sambil tidak berhenti menggerutu.
"Rudi... Rudi... Rudi... kamu gak ngerti juga, saya bilang tidak tertarik..." suaraku tercekat berhenti sampai disitu tepat ketika aku buka pintu kamar.
"Oh, jadi sekarang kamu gak tertarik sama aku..."
"He? bukan gitu, aku kira tadi yang dateng itu si Rudi..." ujarku dengan terbata-bata karena ternyata yang mengetuk pintu kamar hotelku adalah Maya. Dia hanya diam sambil terus memandang tajam kearahku,
"Terus..."
"Kamu ngapain kemari ?"
"Oh, jadi kedatanganku tidak diinginkan ?"
"Bukan begitu, aku cuma kaget aja aku kira kamu si Rudi yang ngotot ngajak aku ikut acara outing bareng rekan-rekan sekantor"
"Itu tidak menjawab pertanyaanku Gee... kedatanganku kemari, tidak kau inginkan ?"
"Maya, kenapa harus kita bahas hal itu sekarang..."
"Mana kata sayang yang selalu kau ucapkan untukku Gee?"
"Situasinya sekarang sudah berubah May, aku mohon beri aku waktu untuk menenangkan fikiranku"
"Itu hanya alasanmu saja untuk dapat pergi dariku, bukan begitu ?"
"May... aku tidak ingin berdebat, aku sudah cukup banyak beban hari ini tolong jangan ditambah lagi. Hubungan kita tetap baik-baik saja... aku tetap menjadi temanmu"
"Aku tidak butuh teman !!! temanku sudah banyak, ngapain aku cari teman lagi ?" nada suaranya meninggi, keputus asaan yang sangat dalam tersirat dari getaran suaranya.
"Aku tidak bisa May, tolong mengerti aku..."
"Selama ini aku yang mengerti kamu Gee, aku mengerti jika kamu harus meluangkan waktu dengan istrimu, aku mengerti sekali sebagai wanita pengisi waktu senggangmu, aku juga mengerti sekali hingga membunuh rasa rinduku karena takut merusak hubunganmu dengan dia, aku mengerti sekali kamu hingga rela mempertaruhkan karirku untuk mu... sekarang, apakah kamu mengerti aku ? mengerti perasaanku ? mengerti tangisan hatiku ?" deraan kata-katanya membuatku terdiam seribu bahasa...
"Aku menyayangimu Gee, aku mencintaimu... tidakkah kau tahu itu?"
"May, tolong jangan menekanku seperti itu..."
"Bull shit, bilang saja kalo memang kamu sudah bosan denganku. Sekarang aku tanya padamu... apakah kamu masih sayang padaku Gee ?"
...
...
...
"Gee, jawab dong... masih adakah perasaan sayang itu untukku ?"
...
...
...
"Gee, jangan hanya diam saja seperti itu... katakan iya atau tidak..."
"Enggak !!! it's all over, puas ?" aku menjawab secara spontan tanpa tahu apakah jawabanku itu baik atau buruk, aku hanya tidak ingin merasa terpojok dalam kerumitan ini. Tapi sepertinya jawabanku itu membuat dia gusar, air mukanya berubah menjadi sangat menyeramkan. Perlahan dia mendekatiku, wajahnya hampir beradu dengan wajahku hingga aku dapat merasakan hembusan nafasnya yang menderu yang begitu hangat menyapu wajahku.
"Plakkk...."
"Selamat tinggal Gee..." God d*mned she slap me again, then she walked by leaving me in front of my room.

Hal yang tidak aku ketahui adalah, dia pergi menghilang di ujung lorong hotel dengan berderai air mata. Apakah aku begitu kejam dan tidak punya rasa lagi pada dirinya? ataukah hanya sekedar egoku menapikkan perasaan terdalam yang aku punya, sementara bayangan dia terus berkelebat diantara relung imajiku, menunggu saat lengah dan kosong untuk mengganggu dan melemahkan hati yang memang terlalu rapuh untuk aku bohongi.



Aku menutup pintu kamar hotel, dan menghempaskan tubuhku di kursi. Menghela nafas berkali-kali seraya menikmati getirnya tamparan yang aku terima sambil tak hentinya coba mengerti kenapa dia begitu marah ketika aku jawab dengan kebohongan ini. Bayangan itu kembali berkelebat dan meneggelamkanku pada ingatan masa lalu.

-=o0o=-

Malam itu telah larut, tapi sialnya aku tertahan di ruang server bersama Maya karena target sistem harus sudah terhubung dengan sistem perbankan hari ini juga. Maya terus mondar-mandir gelisah, aku tahu dia sangat tidak nyaman berada diruang server yang dingin dan tak ada kursi. Bagiku yang sudah terbiasa nyaman-nyaman saja mengerjakan program sambil duduk bersila, tapi bagi Maya ? jika bukan karena dia penanggung jawab proyek ini mana mungkin dia mau menemaniku hingga selesai.

"Gimana pak, kira-kira bisa selesai malam ini ?" ujar Maya sambil tak henti-hentinya melihat jam tangan.
"Bisa bu, tinggal beberapa parameter lagi yang harus saya identifikasikan mengikuti struktur sistem bank" jawabku tanpa melepaskan pandangan dari layar laptop.
"Emang gak pusing ya pak, liat deretan program sebanyak itu ?" ujarnya lagi seraya duduk disampingku. Badannya sudah mulai bergetar menahan suhu dingin yang begitu menusuk, maklum lah ruang server memang harus dalam kondisi suhu ruang dibawah 15 derajat celcius. Ditambah lagi dia hanya memakai blazer, kemeja dan rok pendek. Setelan yang sangat tidak bersahabat dengan ruang server, berbeda denganku yang memang sudah persiapan dengan jaket dan kaus kaki tebal. Setidaknya menahan rasa dingin dan tidak mengganggu konsentrasiku, walau sebetulnya yang mengganggu itu bukanlah rasa dingin melainkan harum wangi parfum Maya yang duduk semakin dekat denganku.
"Enggak bu, saya lebih pusing kalo ibu duduk dekat saya. Konsentrasi saya jadi buyar hehehe" gurauku, tapi sepertinya itu bukan sebuah gurauan yang baik karena dia malah balik memandangku dengan tajam.
"Are you tease me?"
"No, it was joke mam... sorry I didn't mean to" sumpah saat itu aku sangat gugup, tak hentinya aku mengumpat dalam hati "huft...me and my big mouth, Gee you never change always pervert and stupid"
Tapi semua tiba-tiba berubah, dia tersenyum aneh. Senyuman yang tidak pernah bisa aku lupakan seumur hidupku, senyuman yang bisa membuat setiap laki-laki lupa untuk bernafas.
"Jangan tantang saya pak, I live based on challenge..."
"Oh bagus itu bu, jadi pekerjaan dijadikan sebuah tantangan agar mencapai hasil yang maksimal..."
"hmm, terus ?"
"Iya, apalagi jujur ya ibu tuh sangat jeli melihat sistem secara garis besar" jawabku makin ngawur entah kemana.
"Terus...?"
"Saya mana berani menantang ibu, toh ruang lingkup kerjanya saja beda..."
"Terus...?! hubungannya dengan konsentrasi ?"
"Oh, tentang itu... saya keceplosan..."
"Terus..."
"Maaf bu, tapi memang jujur begitu adanya konsentrasi saya buyar wanginya begitu.... hmfff..." tidak pernah aku sangka dia menyergap bibirku dan melumatkannya dengan penuh gairah.

Bak ikan yang menggelepar-gelepar didaratan, aku tak tahu lagi mana yang harus dipegang apakah laptopku atau tubuh sintal yang kian mendekapku tanpa dapat aku tolak.
"timeout 10 second please ?" bisikku sesaat aku dapat kesempatan melepas pagutan bibirnya.
"well, is there something you wanna say ?"
tapi dari bibirku tidak keluar sepatah katapun, aku hanya mengambil ancang-ancang untuk membalas apa yang telah dia lakukan padaku, kini giliranku yang mendominasi...tanpa ampun

-=o0o=-

Ketukan pintu kamar hotel untuk yang kedua kalinya ini membuyarkan lamunanku. Sesaat aku mengusap pipiku bekas tamparan Maya tadi, bersiap untuk menerima tamparan kedua. Dengan langkah gontai aku beranjak menuju pintu kamar dan membukanya, and thanks god it's not her. But another  problem appear, Rudi and Rinjani was standing in front of my door.
"It seems like I didn't have any choice didn't I ?"
"Ayolah pak, ceriakan harimu dengan kumpul bareng kita-kita" ajak Rinjani. aku menatap tajam sama Rudi sementara yang dipandangi hanya tertunduk tidak berani balas menatap mataku.
"Makin pinter kamu ya Rud, bawa beking biar gak guwe semprot" dia hanya cengar-cengir seolah yakin benar kalau aku akan menyerah dan ikut bersama mereka.
"Kamu mau aja dijadiin tameng buat Rudi..." ujarku lagi, kini balik menatap tajam pada Rin. Tapi sepertinya gadis itu tidak mempan sama tatapan tajamku. Dia hanya tersenyum sambil coba mencuri pandang lihat isi kamarku.
"Bukan begitu pak, lagipula ngapain juga sendirian di hotel? yang ada hanya melamun. Seperti kata pepatah pak, semua orang mungkin mampu untuk hidup sendiri tapi tidak ada yang dapat hidup dalam kesepian"
"Ah, sok tahu kamu... ya udah masuk dulu, gak usah curi-curi pandang begitu" jawabku, membuat wajah Rinjani memerah karena ternyata gerak-gerik dia aku perhatikan dengan seksama.

-o0o-

Akhirnya aku menyerah, tidak ada lagi alasan yang dapat aku sampaikan. Semua dipatahkan oleh Rinjani, yang sangat bersemangat untuk segera menikmati liburan bersama. Another crowded day I must spent in the next 3 days

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan pendapat anda